BUNDA I

Sang senja dengan anggunnya menurunkan tirai jingganya menyapu cakrawala. Lalu perlahan wajah mentari berbinar cerah turut menghias senja.
Sosok yang bersahaja -yang di wajahnya ribuan peristiwa telah diurainya, di getar nadinya kisah kehidupan telah diejanya- itupun membuka penutup kendi dan mulai mengalirkan air bening -sebening cermin hatinya, sesuci kasih cintanya- pada telapak tangan, berkumur, mengusap hidung, wajah, tangan, sebagian rambut, telinga, kakinya, serta seluruh kekhilafan yang menghiasi kesehariannya. Hingga lunturlah semua noda bersama diturunkannya tirai senja. Sosok damai itupun membungkus dirinya dengan kafan, dan terbanglah ruhnya mi'raj mendaki titian langit, tinggalkan deru perang batin, mencandai kemesraan dan kerinduan yang mengharu biru. Seribu satu keluh kesah yang ditabungnya sejak pagi tadi, pun terlepas lugas teradu pada Sang Maha Pembuka hingga terangkat seluruh beban yang seharian mampir di pundak yang renta namun harum mewangi aromanya. Pun setelah bermesraan dengan Sang Kekasih Sejatinya, tangan yang terbalut kerja keras menyalakan lentera minyaknya yang apinya meliuk mesra mengikuti alunan irama hembusan angin berayun seolah melantunkan dzikir abadi. Dan sejurus kemudian, diiringi dengan tersenyumnya bintang gemintang, jemari yang beranjak keriput lincah menari memintal benang dan mulai merajut harapan dan doa tentang esok hari. Diselipkannya pula satu-satu, asa dan rasa syukur tak terhingga ke dalam sanubari buah hatinya demi memaknai kehidupan layaknya yang dijalaninya.
Hanya dengan satu pengharapan dan keinginan agar penglihatannya -yang mulai kabur, perih dan memerah- sempat menyaksikan sang buah hati tertempa laksana Dzulfiqar menebas keangkuhan diri yang membayangi setiap langkah manusia.
"Wahai anakku, merahnya mata ini dan mata air air matanya telah menyalakan segenap doaku untukmu. Bersucilah ... lalu kenakanlah rajutan harapan yang bunda pintal dari benang-benang perjalanan melintasi ruang mengarungi waktu. Senantiasalah engkau bersyukur, sebab kehidupan ini adalah mensyukuri apa yang diberikanNya. Apa yang telah Dia berikan untukmu, selalu dan terus saja lebih dari apa yang kau minta. Kala engkau rasa asamu terhuyung di ujung terjalnya tebing, tetaplah bersyukur, dan cukuplah engkau berbahagia dengan tatapanNya."
demikianlah bisikan lirih hati sang ibunda sembari ditatapnya paras lugu sang buah hati yang sedang tertidur lelap memeluk bantal dingin pinggiran masa, sesaat sebelum nyala lentera minyak beranjak meredup tergantikan sinar lembut mesra sang purnama yang saling bersahutan kilaunya dengan cahya gemintang di kubah angkasaNya.
Dan sepintas lalu, seuntai senyum tulus menghiasi bibir sang buah hati yang mengigau lirih," Terima Kasih, Bunda." (21.03.99)


S A H A B A T

sahabat...
yang tersaruk-saruk langkahnya
tersandung-sandung suaranya
terhuyung-huyung desah nafasnya
terisak-isak tangisannya
sahabat...
sampai kapan engkau terus makan
hidangan basi penuh onak dan duri
hingga musim apa engkau telan
belulang dosa tajam tak terperi
sahabat...
mengapa juga kau biarkan nuranimu
direnggut kalut yang semakin larut
kenapa engkau serahkan jiwamu
pada dingin dan beku memagut

sahabat ...
tapakilah jalanmu dengan kejujuran
bersucilah !
- seperti bijak petuah bunda -
(24.03.99)


DEMI SUATU KEBERADAAN

kematian ...
bukanlah tragedi yang layak diratapi
kematian ...
satu-satunya penuntas kelelahan
kematian ...
puncak tertinggi dari sebuah keberadaan
kematian ...
pelabuhan tempat hidup melempar sauh
setelah berlayar mengarungi kelahiran
kematian ...
sebentuk cincin melingkar
di jemari perjalanan menghabiskan masa
kematian ...
sekedar memberi makna
bagi sebuah kehidupan
( ... )


ZIARAH

sejenak kulepaskan engkau
dari sangkar belulangku
yang terbiasa menjadi teralimu
terbanglah, jiwaku
raihlah sisi-sisi terluar dunia
jelajahilah pahatan-pahatanNya
sebelum Dia menuntaskan amanahNya
yang dipercayakannya padamu

bentangkan sayapmu lebar-lebar
bawalah harapan-harapanku
di sela-sela kepak sayapmu
janganlah sia-siakan waktu
melayanglah dengan segenggam asa
diantara makin tersendatnya langkah
jangan pula engkau lupa
ziarahilah pusara kejujuran nurnaiku
(telah kukubur dia hidup-hidup)
dan saat senja mulai memerah, kembalilah ...
tuntaskanlah dahaga keberanianku
hentikanlah luka kehampaanku
(10.04.99)


SELAMAT DATANG

rerimbunan basah pepohonan belantara unjukkan senyum kebesarannya di depan gerbang rimba -menyambutku. Tirai-tirai keremangan diturunkannya perlahan memisahkanku dengan keseharian yang terbiasa memudar biasnya. Pun harus kutingalkan di luar sana pusara tak bernisan dari keangkuhan diri dan ketidak-jujuran.
Butiran-butiran lembut harapan yang menumpang menggayut mesra pada bulir-bulir bunga rerumputan yang sesekali menyeka kelelahanku. setiap tapak yang meninggalkan jejak di atas tanah basah adalah salam untukmu, wahai bumi tempatku mengukir sejarah. semakain dalam aku mengenalmu, sirna pulalah satu-satu kepengecutan yang memang seharusnya punah.
saat aku kehilangan, butiran embun yang tersisa pada dedaunan adalah satu-satunya tempatku bercermin mencari kembali demi mengisi suatu kehampaan yang terenggut. Memang hanya jiwaku penyerta abadiku. Sapaan-sapaanku, sentuhan-sentuhanku. Semuanya kukemas untukmu.
Memang disinilah teruji.
(17.04.99)


BERSAHABAT

karena kabut adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami bertegur sapa
karena dingin adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami saling berpelukan
karena ketinggian adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami berjabat erat
karena jauh adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami saling bercanda mesra
karena lelah adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami bersenda gurau
karena rimba belantara adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami bersahabat
karena keremangan adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami berkejaran
karena keindahan adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami saling membelai
karena hamparan savana adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami saling menyelami jiwa
karena hening damai danau adalah makhluqMu
maka izinkanlah
kami menjalin silaturrahim

dan karena alam semesta adalah juga makhluqMu
maka izinkanlah
kami bermi'raj bersama
mendaki meniti tangga cahya
menuju keridhaanMu ... semata
(18.04.9)


K E N A N G A N

Telah engkau tuntaskan pelayaranmu di samudera kefanaan ini. Sang maut telah engkau rapati. Kematian telah engkau labuhi. Sydah tuntas seluruh kelelahanmu. Dan kini, bentangan barzah tengah kau arungi dalam kesendirian. Memang telah engkau tinggalkan kami dengan beribu kisah yang telah kita mainkan -bersama- di masa lalu.
Seluruh tirai pembatas denganmu telah benar-benar tertutup. Rapat. Prologmu disini telah usai. Saat ini, di dalam dada ini hanyalah tersisa mimpi-mimpi untuk lebih lama mengais kehidupan denganmu. Mencandai hari-hari habiskan waktu,
Di sini, kami bersama-sama menyusun kembali serpihan-serpihan kesetiaan kami dan merangkai kembali kepingan-kepingan persahabatan yang tak akan pernah pupus oleh waktu atau juga dihapus masa. Tak akan pernah redup nyala keceriaanmu disini. Tak akan pernah kabur gambarmu di relung nurani kami.
Bukan lagi canda tawa saat bahagia. Atau juga tangis dan sedu sedan di kala duka yang mampu kami bagi denganmu. Hanya untaian doa yang terangkum dalam ayat-ayatNya yang bisa kami hantarkan buatmu.
Tunggulah ... karena pasti kesanalah kami.
(20.04.99)


...

sebuah benda menggigil tercampak di sudut sebuah ruang makan mewah nan luas yang di atas mejanya tersaji berbagai jenis hidangan. Sejurus kemudian, sebuah bola menggelinding ke arahnya, dan berhenti setelah tertahan olehnya. Dan mengikuti bola adalah seorang bayi yang merangkak menuju bola yang ternyata adalah sahabatnya bermain.
Sejenak kejujuran dan kepolosan yang menghias paras sang bayi kembangkan senyum tulus suci seputih melati. Hasratnya mengambil bola mainannya tiba-tiba tertahan saat kejernihan hatinya menangkap suara dari benda yang sedang menggigil. Suara senandung merdu selembut usapan pelangi di bening mata sang bayi.
"Janganlah engkau merasa takut dan segan kepadaku. Mendekatlah kepadaku dan marilah kita bersama-sama merajut benang-benang masa menjadi sebuah pahatan persahabatan yang Dia ridhai. Dan biarkanlah keikhlasan dan akhlaqul karimah menjadi ruhnya kelak. Kejujuran dan kepolosan yang menjadi selimut menghangatkan jiwamu saat ini biarlah mutlak menjadi karuniaNya untukmu semata dan buka -sekali-kali bukan- milik siapapun atau direnggut apapun. Tidak juga oleh mereka yang senantiasa berebutan makan walau mulut dan perut mereka telah mengerang keletihan. Karena hidangan-hidangan di atas meja itu hanyalah disajikan bagi segumpal hati yang kini hanya tinggal menjadi prasasti belaka. Jagalah nyala lentera keberanian yang menerangi rongga dadamu dan memancar sinarnya lewat jendela bening matamu, hingga ia tetap menemani menerangi kegelapan yang kelak pasti mendekapmu lekat. Janganlah pula engkau mengekor mereka yang yang telah melemparkanku kesini -di sebuah sudut kesunyian. (tapi disinilah aku menemukan bentuk)- karena sudut batin dan dasar sanubari mereka telah sempurna sesak oleh keserakahan dan kesombongan yang merenggut tempatku di sela alur belulang mereka. Tataplah dunia dengan kerendah-hatian. Kenalilah Dia dengan mengenali dirimu lewat tajamnya mata hatimu. Sapalah selalu kubah langit tempatmu bernaung. Candailah juga bumi tempatmu berpijak mengukir jejak. Memang, dunia pasti meraih akhir dan jamuan makan itu pasti usai seiring layunya kelopak kehidupan. Inilah saatnya engkau beranjak mengguratkan huruf pertama namamu dengan tinta emas di atas nisan cahyamu. Bangunlah puri keimanan sekuat kau bisa di tengah rentangan iradahNya yang tiada memiliki batas. Dan sekarang, izinkanlah aku menyusup diantara nadi yang saling bersilaturrahim di ragamu."
sejenak setelah sang benda mengalir bersama jalan darah di urat-urat nadi kehidupan sang bayi, serentak sorot mata, kepolosan, keluguan, serta kejujurannya serempak melukis sebuah tanya.
"akupun tak mengerti siapa aku. hanya Dialah Yang Maha Tahu tentang aku. tapi kelak, mungkin engkau akan menamaiku kasih sayang"
demikianlah sebentuk suara yang gemanya datang dari ujung langit dan gaungnya dari kedalaman samudera memberikan jawaban menggetarkan gendang telinga kesucian sang bayi.
(07.05.99)


 

 
KOLOM

satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sepuluh
 

 

presented by kedai.faithweb.com  ©2002

 

PREVIOUS

HOME

NEXT